D.O.L.L
Photobucket

Doryne Orinthia Leedan Larz .
Call me Orin .
dorynelarz.blogspot.com
"I'm as cold as the snow.. can you make me warm?"





Tagboard.
Cbox is highly recommended ;D


Wishlist.
Yr Wishes
Yr Wishes
Yr Wishes
Yr Wishes
Yr Wishes
Yr Wishes
Yr Wishes
Yr Wishes
Yr Wishes
Yr Wishes


Affilates.
Place links here .

utuutu
Friend
Friend
Friend
Friend
Friend
Friend


Archives.
April 2010
Juni 2010



Credits.
This blogskin is proudly brought to you by


© All Rights Reserved 09








♥ Orin ♥

Jumat, 11 Juni 2010
Seleksi Asrama

Kenneth—si kakak sepupu—sudah tak terlihat sejak Orin tiba di stasiun King's Cross bersama dengan Raphael. Padahal mereka satu mobil saat berangkat dari rumah. Kakak sepupunya itu memang anak yang sangat aktif baik gerak-gerik maupun mulutnya. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan dirinya yang lebih banyak diam seperti boneka yang selalu dipeluknya. Edmund—teman pertamanya di dunia sihir—juga tak terlihat batang hidungnya di tengah keramaian hiruk pikuk para calon murid Hogwarts yang masih sangat antusias. Si bocah gagak juga sepertinya sedang sibuk menakut-nakuti gadis kecil lain di suatu tempat yang tak terlihat oleh mata Orin. Menakuti dengan tawa maniakal yang tanpa ekspresi itu.

Intinya ia hanya sendirian sekarang. Raphael sudah kembali ke rumah keluarga Larz begitu ia naik ke dalam Hogwarts Express. Josephine—boneka porselennya—terpeluk erat di dadanya. Gadis kecil berambut panjang sewarna tinta itu berdiri di tengah-tengah kerumunan anak-anak seusianya. Mereka semua baru saja turun dari Hogwarts Express. Langit sudah gelap. Kantuk mulai menyusup menggoda mulutnya untuk membuka dan menguap. Kepala Orin tertunduk seperti biasa. Menyembunyikan wajah di balik tirai hitam rambutnya yang tebal. Di hadapan si gadis kecil berdiri sosok setengah raksasa dengan kumis dan jenggot tebal. Kenneth bilang sosok itu bernama Hagrid—orang baik yang menyenangkan di balik sosok besarnya yang menyeramkan. Orin hampir yakin Hagrid menyembunyikan banyak benda misterius di balik jenggot tebalnya. Mungkin makhluk-makhluk kecil yang suka memakan anak-anak nakal.

...

Ia bergidik membayangkan pemikirannya sendiri. Digeleng-gelengkan kepalanya keras-keras untuk mengusir bayangan tersebut dan ia turut melangkah mengikuti rombongan untuk naik ke atas sebuah perahu kecil tanpa dayung yang akan menyeberangkan mereka ke kastil Hogwarts. Gadis kecil itu dengan ragu-ragu menjejakkan kaki kanannya di atas perahu. Goyangan perahu membuatnya limbung dan takut sehingga ia berhenti bergerak dengan satu kaki masih menjejak daratan.

Josephine, aku takut.

Seorang anak laki-laki berambut gelap yang telah terlebih dahulu duduk di atas perahu mengulurkan tangan hendak membantu Orin naik. Uluran tangan yang tidak diindahkan Orin. Bukannya gadis kecil itu sombong tapi ia terlalu takut dan malu memegang tangan orang lain yang tak dikenalnya. Ia tetap menunduk dan dengan gugup menarik kaki kirinya naik ke atas perahu cepat-cepat. Hal tersebut membuat pijakannya goyah dan ia jatuh terduduk di samping seorang gadis kecil lain.

"Takut tapi belagu, eh?" celetuk si anak laki-laki yang tadi hendak membantunya. Nada tak senang terdengar mengalir bersama dengan kata-kata si anak laki-laki. Orin hanya diam mendengar komentar tersebut. Merasa tak enak namun tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. Dipeluknya Josephine semakin erat dan berbisik pelan berulang-ulang pada boneka itu.

"Ada Josephine di sini. Aku akan baik-baik saja. Ya kan, Josephine?"

Si gadis kecil tak menyadari bahwa tingkahnya diperhatikan oleh ketiga anak lain yang seperahu dengannya. Mereka mulai berbisik-bisik dan menunjuk-nunjuk ke arahnya. Tawa terkikik mulai terdengar samar namun Orin tak peduli. Ia sudah biasa digunjingkan karena hubungannya dengan Josephine yang terlampau erat. Ia menutup hatinya. Tak peduli dengan bisik-bisik penuh tawa dan hinaan dari ketiga anak itu. Selama mereka tidak terang-terangan menyerangnya, ia akan diam saja.

"HEH! Cewek belagu! Ternyata kau itu gila, ya? HAHAHA."
"Umurmu berapa masih bicara sama boneka begitu?"
"Orang gila kok bisa diterima di Hogwarts, ya!?"
"Mungkin Dumbledore sudah mulai pikun? HAHAHA."
"Hahaha. Mungkin juga."
"Cewek aneh."
"Cewek gila."

Orin menunduk semakin dalam. Dipejamkannya mata rapat-rapat berusaha menahan air mata yang mulai merembes keluar dari sudut matanya. Josephine semakin erat dipeluknya. Gadis kecil pendiam itu marah. Waktu singkat penyeberangan di atas perahu kecil itu penuh dengan hinaan dan tawa yang ditujukan padanya. Beberapa menit jadi terasa seperti beberapa jam baginya. Tiba-tiba salah satu dari anak laki-laki yang ada di perahu kecil itu mencoba merebut Josephine darinya. Rambut hitam si boneka porselen ditarik. Orin terhenyak. Ia mengangkat wajahnya menatap lurus ke arah anak itu. Tatapannya tajam. Meski ekspresinya datar namun siapapun bisa melihat binar kemarahan dari bola mata safirnya. Wajahnya dibasahi oleh air mata.

"Jangan sentuh Josephine!" teriaknya sambil menepis tangan anak laki-laki itu dari rambut Josephine. Didorongnya anak laki-laki itu kuat-kuat hingga terjengkang. Jika saja tak ada yang memegangi anak itu, mungkin sekarang anak itu sudah berenang di dalam danau hitam. Nafas Orin memburu. Ia tahu emosi bisa membuat asma akutnya kambuh. Ia menarik nafas dengan susah payah. Wajahnya yang pucat terlihat tegang. Menatap ketiga anak di perahu itu satu per satu. Ia takut dengan mereka. Sekaligus benci.

"Dasar cewek gila!"

"Diam," desisnya. Ia kembali menunduk namun gestur tubuhnya mengancam. "Kalian semua diam."

Ketiga anak itu pun pada akhirnya diam hingga perahu kecil itu berlabuh di tepi danau. Mereka dengan terburu-buru turun dari perahu meninggalkan Orin sendirian bersama Josephine. Ia bisa mendengar anak-anak itu memaki dirinya di kejauhan. Tapi ia tak peduli lagi. Ia aman jika hanya berdua dengan Josephine. Takkan ada lagi yang mengganggunya. Ia pun segera turun dari perahu sambil menghirup inhaler yang tergantung di lehernya. Berdoa supaya asmanya segera reda.

Kini Orin dan rombongan calon murid yang lain telah berdiri di tengah Aula Besar. Berbaris menunggu diseleksi oleh Topi Seleksi tua yang bijaksana. Empat meja panjang dengan lambang masing-masing asrama berjejer rapi. Para senior terlihat serius menyaksikan upacara penyeleksian tersebut. Ruangan itu ramai. Sangat ramai. Besar dan juga terang oleh cahaya ribuan lilin yang melayang di langit-langit. Banyak anak yang berdecak dan menyerukan kekaguman mereka namun Orin tetap menunduk menatap ke bawah. Tak peduli dengan euforia di sekitarnya. Hanya menunggu hingga namanya dipanggil.

"Larz, Doryne Orinthia Leedan."

Mister hat, just send me back home right away with Josephine. Please.

23.53

Minggu, 11 April 2010
Waiting Awesomely B-)

Ternyata iklim di London hampir sama dengan iklim di Reykjavik. Di musim panas, suhu paling tinggi sekitar 20 derajat celcius dan di musim dingin sekitar minus 10. Hal itu membuat Orin tidak terlalu merindukan Islandia, terutama karena sekarang ia bisa hidup bersama dengan ayah kandungnya meski untuk itu ia juga harus tinggal satu atap dengan kakak sepupunya yang hiperaktif dan tiada-hari-tanpa-menggombal itu.

Orin melangkah perlahan dengan Josephine dalam dekapan. Tak sedetik pun boneka itu ia lepas sejak kedatangannya ke Leaky Cauldron. Suasana baru selalu membuatnya gugup dan Josephine mampu meringankan perasaan tersebut. Gadis kecil itu sedang kebingungan sebenarnya. Ramainya jalan Diagon Alley membuatnya terpisah dari Raphael—bodyguardnya. Ia terlalu asyik mengamati tingkah laku orang-orang sehingga tidak menyadari bahwa ia sudah terpisah dari pria muda itu. Ia mencari dan mencari. Bola mata sewarna samuderanya tak berhenti bergulir mencari-cari sosok Raphael dan tidak juga ia temukan.

Orin hanya diam. Tidak berteriak memanggil seperti anak-anak seusianya jika terpisah dari orang tuanya. Orin hanya diam, tak berekspresi. Hanya dekapan pada Josephine yang semakin erat yang menunjukkan bahwa ia panik.

Kembali ke Leaky Cauldron. Akhirnya Orin memutuskan hal tersebut. Berharap Raphael akan melakukan hal yang sama dan segera menemukannya. Ia tak suka berada di tempat asing sendirian. Dan ia akan pastikan untuk menghukum Raphael saat mereka bertemu lagi nanti. Orin berjalan mengikuti orang-orang di depannya, berharap mereka juga sedang mengarah menuju penginapan reyot tersebut. Ia tak ingat jalannya dan ia tak berani bertanya. Beruntunglah Dewi Fortuna sedang berpihak padanya. Ia sampai di Leaky Cauldron dengan selamat. Kepalanya tertunduk dan ia melangkah masuk ke dalam bar tersebut. Tidak memperhatikan jalan.

BRUK

Ia menabrak seseorang. Josephine terlepas dari pelukannya dan jatuh ke lantai. Orin segera berjongkok untuk mengambil Josephine, menepuk-nepuk boneka itu agar debu-debu yang menempel terlepas. Debu bisa membuat asmanya kambuh dan ia tak ingin itu terjadi.

Haruskah ia minta maaf pada pemuda berambut pirang yang tadi ditabraknya? Atau ia sebaiknya pergi saja?



Pertanyaan-pertanyaan yang menanyakan tentang keadaannya langsung terdengar di telinganya—bersahutan. Pertama dari seorang anak laki-laki sebaya yang sedang menghabiskan coklat (katanya) sambil duduk bersila di dekat pintu masuk dan satu lagi dari pemuda pirang yang tadi ia tabrak. Pemuda yang baik karena selain tidak memarahi Orin, ia juga menanyakan keadaan Josephine. Orin berdiri setelah memastikan Josephine telah bersih dari debu-debu yang menempel, kembali memeluk boneka tersebut.

Bagaimana ini, Josephine?

Orin menatap kedua orang tersebut bergantian—ekspresinya tidak berubah. Tetap datar seperti biasa. Cenderung terlihat seperti sedang melamun. Perlahan gadis kecil itu menganggukkan kepala dan menempelkan dagunya ke puncak kepala Josephine. Ia tidak suka menatap mata orang berlama-lama apalagi berinteraksi dengan mereka. Sikapnya tersebut telah membuat teman-teman sekelasnya dulu menganggapnya sombong. Ia tak peduli. Selama ada Josephine di pelukannya, ia akan baik-baik saja. Ia hanya butuh Josephine sebagai sahabat, bukan manusia lain.

Manusia itu selalu mengecewakan, bukan?

Orin masih ingat semua kata-kata yang dilontarkan oleh teman-teman sekelasnya tentang dirinya. Hanya karena Orin tidak pandai bergaul dan tidak terlalu suka bersosialisasi, mereka membuat tuduhan-tuduhan dengan seenaknya. Katanya, Orin sok kaya. Tidak mau berbaur dengan yang lebih miskin darinya. Padahal sebenarnya Orin senang melihat teman-temannya berbincang-bincang dengan akrab dengannya. Bercerita tentang liburan, tentang hewan peliharaan, tentang peri-peri rumah yang suka menghukum diri sendiri dan tentang banyak hal lainnya.

Namun, ia perlahan ditinggalkan hanya karena ia tidak pandai mengekspresikan perasaannya. Mereka semua salah paham pada sikapnya. Orin di cap dingin. Ia sedih, tapi ia tetap diam. Seolah membenarkan tuduhan-tuduhan tersebut. Pada Josephine lah ia mengungkapkan segalanya.

Ah, ya. Mungkin ia sebaiknya minta maaf sekarang.

"Ma-maaf."



"Tidak apa-apa," ujar pemuda berambut pirang yang berwajah baik hati itu. Berbeda sekali dengan Kenneth yang kalau berbicara maka isi kata-katanya hampir seluruhnya kata-kata gombal yang membuat nafas Orin sesak. Tapi, pemuda di hadapannya itu baru bertemu dengan Orin dan belum tahu seperti apa Orin sebenarnya. Mungkin saja dalam beberapa waktu ke depan, pemuda itu akan menyadari bahwa Orin adalah gadis kecil membosankan yang tidak banyak bicara dan berekspresi. Mungkin.

Anak laki-laki pemakan coklat itu kemudian membuka pintu yang berada di sampingnya—pintu kamar penginapannya. Orin tertegun. Ia baru sadar bahwa mencari Raphael hingga ke penginapan Leaky Cauldron adalah sia-sia. Mereka tidak menginap di sini. Seharusnya Orin menunggu Raphael di bar saja. Namun Orin bergeming. Ia tak suka berada di bar yang begitu ramai dengan hiruk-pikuk percakapan dan bau kayu apak yang tajam menusuk hidung. Berada di sini lebih nyaman dan tenang.

“Temani aku di sini, nanti kubagi coklat,” ujar anak laki-laki pemakan coklat itu mengajak Orin dan pemuda berambut pirang masuk ke kamarnya.

Untuk apa?

Orin melirik ke arah pemuda berambut pirang yang sekarang sedang tersenyum—menerima ajakan si anak laki-laki pemakan coklat lalu memperkenalkan namanya. Calvin Cornwell. Orin merekam nama tersebut dalam memorinya. Tidak akan sulit mengenali pemuda berambut pirang itu jika suatu hari nanti mereka bertemu lagi. Mungkin di tempat lain. Dunia itu sempit, kau tahu?

"Dan... apakah kamu murid baru di Hogwarts? Calon, hmm?"—Mungkin juga di Hogwarts.

Orin pada akhirnya mengangguk, menerima tawaran dari anak laki-laki pemakan coklat itu. Mungkin anak laki-laki pemakan coklat itu hanya ingin mengajak mereka bermain. Ia tak peduli meski dengan masuk ke kamar anak itu, maka kemungkinan Raphael akan menemukannya semakin kecil. Anggap saja itu hukuman untuk bodyguardnya karena telah lalai menjalankan tugas.

"Orin," ujar gadis kecil itu memperkenalkan namanya—kepalanya tertunduk, "Calon murid Hogwarts." Ia lalu menunjuk ke arah bonekanya, " Ini Josephine."

21.34

Leaky Cauldron

Tidak. Orin tidak akan menginap di tempat ini. Ia hanya datang kemari untuk berbelanja kebutuhan sekolahnya di Diagon Alley dan pulang setelahnya. Ia masih mengingini untuk tidur di kamar barunya yang indah. Ia rela bolak-balik London-Skotlandia daripada harus menginap di penginapan kumuh dengan bau kayu apak yang tajam. Orin mengernyit—menempelkan puncak kepala Josephine ke hidungnya seolah itu akan mengusir bau tersebut. Sedikit berhasil tapi tidak memuaskan. Orin mendengus. Bola mata sewarna samudera miliknya bergulir memperhatikan para entitas penyihir yang ada dalam ruangan tersebut. Semua terlihat tidak terganggu dengan penampilan bar tersebut. Bahkan mereka berbincang-bincang dengan seru—entah membahas topik apa.

"Nona, mau pesan minuman atau makanan?" tanya Raphael, bodyguard keluarga Larz yang diutus untuk menjaganya—melayaninya. Berbeda dengan Michelangelo yang melayani Kenneth si kakak sepupu genit, Raphael yang berambut pirang itu sama pendiamnya dengan Orin. Namun Raphael mahir melemparkan senyuman hangat, tidak seperti Orin yang tak pernah tersenyum. Orin mengangguk pelan dan berujar singkat pada Raphael, "Butterbeer. Dua gelas." Satu gelas untuk Josephine, tentu saja.

Ia pun mengikuti Raphael menuju ke meja konter. Tidak mau ditinggal menunggu dengan duduk di satu meja. Ia ingin memastikan Raphael memesan dengan benar—meski sesungguhnya hal tersebut tidak perlu diragukan. Raphael adalah seorang bodyguard profesional. Orin mengamati seorang anak kecil seusianya yang sedang mengantri di depan konter. Anak kecil itu menggandeng erat ibunya dan tersenyum ketika sebuah usapan lembut mendarat di kepalanya. Orin teringat pada almarhum ibunya meski hanya bayangan samar mengenai senyumannya dan suaranya yang lembut saat meninabobokan dirinya dulu. Didekapnya Josephine semakin erat dan ia mengalihkan pandangannya kembali ke konter. Orin menyadari bahwa Raphael tengah memperhatikan dirinya. Dan gadis kecil itu bersyukur Raphael tidak mengomentari apapun.

"Butterbeer dua gelas, please," ujar Raphael memesan pada seorang pegawai yang berdiri di balik konter.

20.41

Surat Tahun Pertama

Pada akhirnya, Orin tetap dibawa pulang ke London oleh ayahnya—Wolfram. Ia tak banyak menggerutu ataupun menyampaikan keinginannya. Ia hanya diam dan memeluk Josephine seperti biasanya. Hanya boneka porselen itu yang menjadi saksi bisu dari perasaan Orin. Gadis kecil itu menggenggam erat telapak tangan hangat Wolfram saat mereka berjalan meninggalkan rumah keluarga ibunya di Islandia dan berkali-kali ia mendongak dan mencuri pandang ke arah pria tersebut. Masih tak percaya bahwa pada akhirnya Wolfram ingat untuk menjemputnya sekalipun mungkin alasannya adalah karena usianya yang sudah menginjak sebelas. Genggamannya bahkan semakin erat ketika sensasi memusingkan terjadi tepat saat Wolfram menyentuh sebuah kaleng bekas minuman yang telah disihir menjadi portkey. Josephine tersimpan aman dalam saku di balik jaketnya.

Beberapa saat kemudian, Orin telah tiba di London. Tepat di depan kediaman Larz. Rumah besar milik almarhum kakak Wolfram yang dihuni oleh kakak sepupu bernama Kenneth—siswa tahun keempat di Hogwarts. Hanya sedikit kenangan yang ia ingat tentang kakak sepupunya itu. Mereka sama-sama memiliki rambut sehitam tinta seperti yang memang menjadi ciri khas keluarga Larz. Selain itu, Orin sama sekali tidak ingat.

Tempat baru selalu membuat Orin gugup, namun ia tidak menunjukkannya. Ia hanya memeluk Josephine dengan erat dan terus berjalan memasuki rumah besar tersebut bersama dengan Wolfram di sampingnya. Kenneth menyambutnya. Melontarkan pujian mengenai wajahnya, rambutnya dan juga kemiripannya dengan Josephine. Orin hanya memandangi anak laki-laki itu dengan tatapan heran sejenak sebelum akhirnya ia berjalan meninggalkan Kenneth untuk melihat kamar yang disediakan untuknya. Tak ada yang melihat semburat kemerahan yang muncul di kedua belah pipinya. Ia senang dipuji namun ia tak tahu bagaimana cara meresponi sebuah pujian dari seorang anak laki-laki yang telah merebut kasih sayang ayahnya selama enam tahun.

Anak laki-laki yang diam-diam ia benci, yang seharusnya bersikap jahat sehingga kebenciannya beralasan.

Pelayan mengantarnya sampai ke depan sebuah pintu bercat hijau muda—warna kesukaan Orin. Membukakan pintu dan mempersilakan Orin masuk. Pelayan itu kemudian dengan cekatan membereskan isi koper Orin yang berisi pakaian-pakaian kesayangannya ke dalam sebuah lemari antik putih dengan ukiran emas pada setiap sisinya. Ruangan itu adalah kamarnya. Temboknya di cat hijau pastel yang lembut dengan lukisan bunga-bunga kecil pada beberapa titik. Tempat tidurnya tepat berada sekitar dua meter di sisi kiri pintu masuk. Tempat tidur yang di desain serupa dengan gaya antik lemari bajunya yang bagian atasnya ditutupi dengan kelambu hijau muda. Ada dua buah jendela dengan tirai putih berenda mengapit sebuah pintu menuju balkon rumah. Orin terpesona—ia telah jatuh cinta pada kamar barunya. Ia melepas jaketnya, cuaca London panas jika dibandingkan dengan Reykjavik. Orin pun kemudian melangkah ke balkon dengan Josephine dalam pelukan.

Pemandangan dari balkon membuat Orin tak mampu berkedip. Sebuah hutan buatan yang teduh terlihat. Ditambah sebuah danau mini dengan beberapa ekor bebek dan angsa berenang di atasnya.

"Indah," ujar Orin dengan suara yang lembut. Bola mata aquamarine-nya sibuk menikmati pemandangan yang menyita perhatian si gadis kecil.

Perhatiannya teralih ketika sebuah kepakan samar terdengar dari kejauhan. Semakin lama suara itu semakin jelas dan ia bisa melihat sebuah titik hitam di langit. Seekor burung hantu berwarna abu-abu cerah terbang ke arahnya—mendarat di pagar balkon dengan membawa sebuah amplop surat di paruhnya. Surat dari Hogwarts, seperti yang telah diceritakan oleh Wolfram. Gadis kecil itu mengulurkan tangannya dan mengambil amplop kekuningan tersebut. Burung hantu itu pun kembali terbang dan menghilang di langit. Orin melangkah menuju sebuah tempat duduk berayun yang ada di balkon dan duduk di sana. Josephine ia letakkan di sampingnya. Surat itu pun ia buka.

"Hogwarts. Josephine, kita akan ke Hogwarts bersama si kakak penggoda."

12.32

Kontrak Sihir

Who should I believe, Josephine?

Orin duduk diam di depan meja rias kamarnya, Josephine si boneka porselen berambut sehitam pemiliknya berada aman dalam pelukan gadis kecil itu. Orin sedang mengunci diri di kamar karena kedatangan Wolfram—ayah kandungnya yang begitu tiba-tiba. Hendak mengajaknya kembali pulang ke Inggris setelah membiarkan dirinya hidup bersama kakek dan nenek di Reykjavik selama enam tahun. Bukan berarti ia tak ingin. Sesungguhnya, ia sangat bahagia karena akhirnya hari yang ia nanti-nantikan tiba juga. Tak ada seorang pun yang tahu betapa inginnya ia bertemu kembali dengan ayahnya. Tak ada seorang pun yang tahu betapa inginnya ia tinggal bersama dengan pria itu dan bermanja di pelukannya.

Meski pria itu terasa begitu asing bagi Orin.

Perlahan tangannya bergerak membuka laci meja dan mengambil sebuah inhaler untuk mengurangi sesak nafas karena asma yang ia derita. Inhalernya terlepas dari pegangan tangannya saat ia hendak menempelkan inhaler tersebut ke mulutnya; kamarnya tiba-tiba berguncang seolah diserang gempa besar. Orin merunduk, bersembunyi di bawah meja. Satu-satunya nasehat yang ia ingat dari guru sekolah dasarnya untuk menyelamatkan diri bila terjadi gempa. Gadis kecil itu tidak berteriak minta tolong, hanya diam sambil memeluk Josephine erat-erat dan mengatupkan kelopak matanya.

Dan membukanya kembali ketika getaran tersebut terhenti bersamaan dengan serangan asmanya.

Untuk beberapa saat gadis kecil itu bergeming, hanya bola mata sewarna samudera biru miliknya yang bergerak-gerak memandangi ruangan yang kini sama sekali berbeda dengan kamar tidurnya. Bau kayu usang menyengat dari ruangan berkesan kuno tersebut. Orin keluar dari kolong meja dan berdiri—masih memeluk Josephine. Jantungnya berdebar karena rasa takut yang menderanya. Ia tak tahu dimana ia berada.

“Kalian adalah orang-orang terpilih dan ini adalah sekolah terbaik untuk kalian," tiba-tiba sebuah suara datang dari arah belakang, membuat Orin refleks membalikkan tubuhnya dan ia terkesiap. Di hadapannya kini ada seorang kakek tua berjanggut putih yang panjang—ia seperti pernah melihatnya dalam sebuah kartu hadiah di kotak coklat kodok. Kakek tua itu tersenyum hangat ke arahnya sembari mengelus seekor burung yang nampak aneh dalam buaiannya. Kakek itu terus berbicara—terdengar seperti nasehat mengenai cara bertahan di suatu sekolah. Orin mengernyit. Ia tak memahami apa yang sedang diujarkan oleh kakek tua itu. Dipeluknya Josephine semakin erat ketika kakinya perlahan melangkah maju begitu saja mendekati meja usang tersebut.

Sebuah piala dan selembar perkamen muncul dari kenihilan setelah kakek tua tersebut melambaikan tangannya. Orin meraih pena bulu yang ada di dekat perkamen tersebut dan menggoreskannya di atas perkamen berlambang IH.

Apapun itu yang Anda maksud akan saya patuhi dan setujui asal Anda memulangkan saya ke rumah.

D.O.L.L

09.16

Sabtu, 03 April 2010
The Ice Princess

Photobucket

Visualisasi : Yuna@dA


BIODATA

Nama: Doryne Orinthia Leedan Larz
Status Darah: Pureblood
Tempat lahir, Domisili:
London, 31 Maret 1976

Latar belakang keluarga: Berasal dari keluarga bangsawan yang kaya tujuh turunan. Pada usia ke-5, Lilianne—ibu kandung Orin, meninggal dunia dan Orin dibawa ke Reykjavik, Islandia dan dibesarkan di keluarga ibunya. Sementara ayahnya, Wolfram Idriss Leedan Larz, tetap menetap di London dan tinggal di rumah Kenneth Evanthe Wayland Larz—putra dari kakak kandung Wolfram yang telah meninggal bersama dengan istrinya. Orin tumbuh besar tanpa mengenal kedua orang tuanya. Ketika usianya mencapai 11 tahun, Wolfram meminta Orin kembali ke London untuk tinggal bersamanya.

Sifat Karakter: Kehidupan serba ada selama 11 tahun membuat Orin menjadi tuan putri manja karena demikianlah ia dibesarkan oleh kedua kakek-neneknya. Berbeda dengan kakak sepupunya (KEWL) yang imbisil dan norak, Orin adalah seorang gadis kecil yang cenderung dingin dan tidak banyak bicara; bahkan saat ia sedang kebingungan. Orin lebih suka bicara dengan bonekanya; Josephine. Benci pada Wolfram dan Kenneth karena ia menganggap Wolfram telah membuangnya ke Islandia demi mengurus Kenneth.

Label:


05.31